Orde Kekacauan

Aku baca tulisan karya mbak Dina di Suara Merdeka edisinya lupa. Tulisannya bagus banget. Jadi aku minta ijin ma mbak Dina buat naruh tulisannya di blog ini. Gini isinya :
BRE Redana bilang, kita hidup dalam Orde Air Mata, sebuah orde ketika masyarakatnya cengeng, suka hal-hal yang melankolis, dan senang bersedih. Itu bisa jadi benar. Namun coba perhatikan televisi. Di situ kita akan temukan bahwa ternyata tak hanya air mata, masyarakat juga senang hal-hal yang serbakacau-balau.

Acara-acara baru yang serbadramatis terus bermunculan antara lain ”Kacau”, ”Tamu Tak Diundang”, ”Ups Salah”, ”Bukan Sinetron”, ”Jujur Apa Nggak Seech”, dan ”Orang Ketiga”. Acara-acara lain yang sebenarnya tidak menjual kekacauan pun ikutan-ikutan.

Ambil contoh ”On The Spot” di Trans 7. Ini acara musik yang memutar videoklip sambil kirim-kiriman salam. Tidak perlu ada kekacauan di situ. Maka terngangalah kita ketika Omesh sang host tiba-tiba harus melerai sepasang kekasih yang bertengkar di pusat jajan sebuah mal.

”Tenang dulu, tenang dulu! Pacar kamu mau minta maaf, setidaknya kamu harus beri dia kesempatan. Dia menyesali kesalahannya dan ingin memperbaiki semuanya,” lerai Omesh yang biasanya ceria kali ini tampil agak serius.

Si perempuan mau juga mendengarkan si lelaki yang sudah setengah putus asa. Lalu muncullah Ian Kasela dari grup musik Radja. O, ternyata si perempuan penggemar berat Radja dan celah itu yang dimanfaatkan oleh si pacar dengan meminta bantuan On The Spot untuk mendatangkan Ian. Acara ditutup dengan manis oleh Ian yang memanggil pasangan kekasih itu ke atas panggung saat Radja manggung.

”Lagu berikut ini untuk kalian berdua,” kata Ian Kasela. Lagu ”Tulus” pun segera mengalun. Si lelaki dan si perempuan tersenyum-senyum sambil berpegangan tangan di atas panggung, sedangkan Omesh mengedipkan mata, puas karena tugasnya mendamaikan pasangan kekasih itu berhasil.

Dramatis memang. Namun, buat saya, sungguh memuakkan. Maksud hati mau menikmati videoklip, malah disuguhi orang nangis dan marah-marah. Susah sekali mencari acara yang damai di saluran televisi kita. Dari stasiun teve ke stasiun teve lain sama: kekacauan yang bukan main palsunya.

Begitu menggejala kegandrungan orang pada kekacauan, sehingga kita tiap hari seperti disuguhi konteks kacau-kacauan. Seolah kita hidup di sebuah negara tempat orang tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri dengan kepala dingin, tetapi harus minta tolong pada acara televisi yang justru dengan begitu leluasa merekam dan mengeksploitasi air mata dan amarah untuk kemudian mempertontonkannya pada sesama. Semua atas nama hiburan!

Kok bisa ya masyarakat terhibur oleh air mata, amarah, dan teriakan? Jujur saja, sulit membayangkan masyarakat yang menjadikan kekacauan sebagai arena relaksasi. Seolah-olah hidup mereka sendiri berjalan begitu datar dan membosankan, sehingga harus sejenak mengintip kekacauan hidup orang lain demi sebuah kenikmatan.

Dalam ilmu per-penonton-an, ada istilah the flight from reality yang berarti penonton menikmati media sebagai sarana untuk melarikan diri dari realitas kehidupan mereka. Karena bosan dengan rutinitas atau pusing memikirkan biaya hidup yang tinggi, penonton mengalihkan perhatian pada sajian media.

Sinetron adalah contoh paling populer. Kita tentu menemukan orang-orang yang begitu getol mengikuti Cinta Fitri, ikut bersorak jika Mischa ditampar Oma atau gela ketika Farrel dimaki-maki Mami. Padahal, mereka tidak punya kepentingan apa pun terhadap tokoh-tokoh fiktif tersebut atau terhadap jalan cerita yang pastinya juga ngibul. Itulah bentuk pelarian diri.

Anehnya, bagi masyarakat (penonton), sinetron saja tidak cukup. Meskipun pemain ganteng dan cantik, tetap fiktif. Apa yang terjadi pada mereka juga tergantung skenario. Kurang seru. Masyarakat suka dikageti. Ingin sesuatu yang lebih spontan, alami, natural, tapi tetap tidak kehilangan unsur kacau-balau sebagai bumbu penantang adrenalin.

Reality show mampu menjawab. Maka dibikinlah acara-acara yang makin lama kian tak logis namun makin dramatis. Yang lain pun ikut-ikutan menyisipkan drama dalam agenda sajiannya. Tinggal kita gigit jari karena kehilangan acara teve yang bisa tetap rendah hati tanpa menjual pertengkaran.

Di sini kita boleh ngeri membayangkan tatanan sosial macam apa yang bisa menciptakan masyarakat yang doyan air mata, amarah, dan teriakan. Lebih mengerikan lagi karena kita semua berada di dalamnya dan jangan-jangan ikut andil dalam menciptakan Orde Kekacauan ini.

Sungguh, sebagai masyarakat, kita patut dikasihani. Hidup di negara yang serbakacau, lalu menonton acara televisi yang juga menjual kekacauan. Melarikan diri dari kekacauan di dunia nyata dengan menikmati kekacauan di layar kaca yang (seolah-olah) nyata. (38)

nb : Mbak Dina bisa dihubungi di andina_dwifatma@yahoo.co.id

0 comments:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
Mahasiswa jurusan Teknik Informatika yang punya hobi membaca, maen game, ngutak-ngatik komputer, dengerin musik, nonton film, berselancar di dunia maya, blogwalking, dan bercita-cita menjadi seorang backpacker

Browse My Website in 35 Languages